Wednesday, October 18, 2006

Potret Kemiskinan Jawa Barat

Opini dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat Bandung sekitar Februari 2005


Potret Kemiskinan Jawa Barat
Oleh : Sony Herdiana


Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan yang timbul dalam pembangunan bersama-sama dengan masalah pengangguran dan kesenjangan yang ketiganya saling kait mengkait. Dalam konteks pembangunan di Indonesia, masalah kemiskinan semakin menjadi primadona sejak krisis ekonomi melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 lalu. Kemiskinan menjadi semakin sering dibicarakan karena adanya peningkatan jumlah penduduk miskin yang cukup tajam yang diakibatkan oleh krisis ekonomi tersebut.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dapat dilihat bahwa krisis ekonomi telah ‘berhasil’ menghapus sebagian kerja pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan yang dilakukan selama lebih dari dua dasawarsa. Setelah berhasil menekan jumlah penduduk miskin dari 68 % pada tahun 1970 menjadi hanya 11% pada tahun 1996, angka tersebut disulap oleh krisis ekonomi menjadi 23,4% hanya dalam waktu kurang dari 3 tahun (lihat grafik 1). Pada tahun 1999 jumlah orang miskin di Indonesia meningkat menjadi 47,9 juta orang. Dari jumlah tersebut sekitar 15,6 juta orang berada di kawasan perkotaan, dan 32,3 juta orang di perdesaan. Di samping itu, masih ada sekitar 25% penduduk Indonesia yang diperkirakan rentan terhadap kemiskinan. Hal ini berarti hampir separuh penduduk Indonesia dapat dikategorikan miskin atau rentan terhadap kemiskinan.

Grafik 1
Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 1976 – 1999



Mengingat sangat krusialnya masalah kemiskinan ini, dalam GBHN 2000-2004 dan Propenas 2001-2004 pemerintah mengindikasikan masalah kemiskinan sebagai salah satu masalah utama pembangunan nasional. Dalam kedua dokumen tersebut disebutkan bahwa pembangunan pada hakekatnya adalah upaya penanggulangan kemiskinan. Bersama dengan itu, ditingkat pusat juga dibentuk suatu komite penanggulang kemiskinan.

Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
Untuk mengatasi masalah kemiskinan ini sendiri diperlukan suatu telaah yang cukup mendalam mengenai kondisi kemiskinan tersebut. Informasi-informasi yang akurat mengenai peta kemiskinan di suatu daerah akan menjadi landasan untuk melakukan suatu penelaahan yang kemudian akan menjadi input yang sangat penting dalam penetapan kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Salah satu informasi mengenai kemiskinan yang cukup komprehensif adalah Indeks Kemiskinan Manusia (IKM). Indeks ini dikembangkan oleh United Nations Development Programs (UNDP) yang sebelumnya sudah mengembangkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM sendiri kemudian menjadi cukup populer dan dijadikan salah satu alat ukur kemajuan pembangunan di berbagai negara di dunia.

Indeks Kemiskinan Manusia dikatakan komprehensif karena di dalamnya merupakan komposit dari beberapa variabel-variabel yang mewakili indikator-indikator utama yang berpengaruh terhadap kemiskinan. Indikator-indikator tersebut adalah kesehatan, pendidikan, dan pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi. Pemilihan indikator-indikator utama tersebut merupakan suatu bentuk penyederhanaan dari realitas yang kompleks untuk menetapkan ukuran-ukuran kuantitatif dari sedemikian luasnya dimensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan.

Variabel-variabel yang menyusun Indeks Kemiskinan Manusia ini adalah variabel-variabel yang dapat menunjukan tingkat kemiskinan dan dianggap paling mendasar. Variabel-variabel tersebut juga mencerminkan tiga faktor devriasi kemiskinan yaitu hidup singkat, pendidikan rendah, dan ketiadaan akses terhadap sumber daya dan fasilitas dasar, yaitu 1) Penduduk Meninggal Sebelum Usia 40 Tahun (%) 2) Angka Buta Huruf (%) 3) Penduduk yang Tidak Memiliki Akses ke Air Bersih (%) 4) Penduduk yang Jarak Ke Fasilitas Kesehatan > 5 km (%) dan 5) Balita berstatus Gizi Kurang (%).

Dengan menjadikan variabel-variabel tersebut sebagai satu ukuran komposit tunggal, IKM ini mengartikan tingkatan status kemiskinan manusia di suatu wilayah. Tingkatan status kemiskinan tersebut bisa menjadi alat ukur yang berfungsi sebagai patokan dasar perencanaan jika dibandingkan antar waktu untuk memberikan gambaran kemajuan setelah suatu periode atau perbandingan antar wilayah untuk memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan suatu wilayah relatif terhadap wilayah lain.

Kemiskinan di Jawa Barat
Seperti halnya tingkat kemiskinan nasional, dalam lingkup propinsi Jawa Barat-pun tingkat kemiskinan mengalami peningkatan. Nilai IKM untuk pronpinsi Jawa Barat meningkat dari 26,3 pada tahun 1995 menjadi 26,9 pada tahun 1998. Selain peningkatan tersebut, yang lebih menyedihkan tingkat kemiskinan di Jawa Barat ternyata lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional yang mempunyai nilai IKM 25,2.
Dengan nilai IKM seperti itu, berdasarkan klasifikasi yang diberikan oleh UNDP, derajat kemiskinan penduduk Jawa Barat berada pada klasifikasi menengah tinggi. Hal tersebut menunjukan bahwa tingkat kemiskinan penduduk Jawa Barat relatif masih tinggi dan tentunya diperlukan kerja keras untuk mengentaskannya.

Klasifikasi yang dikeluarkan oleh UNDP sendiri membagi tingkat-tingkat kemiskinan suatu daerah ke dalam 4 klasifikasi derajat kemiskinan. Empat klasifikasi tersebut yaitu : klasifikasi rendah dengan nilai IKM kurang dari 10, klasifikasi menengah rendah dengan nilai IKM 10 – 25, klasifikasi menengah tinggi dengan nilai IKM 25 – 40, dan klasifikasi tinggi dengan nilai IKM lebih dari 40.

Kabupaten/kota di Jawa Barat sebagian besar tergolong dalam klasifikasi menengah tinggi, yaitu sebanyak 14 kabupaten/kota dari 22 kabupaten kota yang ada atau sekitar 67 %. Sedangkan sisanya sebanyak 7 kabupaten/kota berada pada klasifikasi menengah rendah. Meskipun tidak ada kabupaten/kota yang tergolong berderajat kemiskinan tinggi, akan tetapi juga tidak ada satupun kabupaten/kota yang berderajat kemiskinan rendah (lihat grafik 1). Dengan komposisi seperti itu bisa dikatakan bahwa tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Jawa Barat secara relatif hampir sama.

Dari nilai IKM kabupaten/kota di Jawa Barat, masih terindikasikan bahwa daerah perdesaan yang direpresentasikan oleh daerah kabupaten masih menjadi konsentrasi penduduk miskin. Kenyataan tersebut terlihat dari mayoritas kabupaten yang berada pada klasifikasi menengah tinggi. Dari 16 kabupaten di Jawa Barat, hanya 3 kabupaten yang berada pada klasifikasi menengah rendah. Itupun dengan catatan untuk Kabupaten Bogor dan Kabupaten Ciamis mempunyai nilai yang hanya 0,1 di bawah klasifikasi menengah tinggi, yaitu mempunyai nilai indeks 24,9. Satu kabupaten lainnya dalam klasifikasi ini yaitu Kabupaten Bekasi dengan nilai indeks 21,4.

Sebaliknya untuk daerah-daerah dengan predikat kota mayoritas berada pada klasifikasi menengah rendah. Hanya Kota Bogor yang berada pada klasifikasi menengah tinggi dengan nilai indeks 26,1.

Dari analisis indikator dan variabel peyusun IKM dapat dilihat untuk indikator kesehatan kabupaten/kota yang mempunyai indikasi kesehatan paling buruk di Jawa Barat adalah Kabupaten Majalengka, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Cirebon. Untuk variabel Penduduk Meninggal Sebelum Usia 40, Kabupaten Garut, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Karawang mempunyai persentase yang paling besar, yaitu masing-masing sebesar 26,9 % untuk Kabupaten Garut dan 21,7 % untuk Kabupaten Sukabumi dan Karawang. Sedangkan untuk variabel Balita Berstatus Gizi Kurang, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Subang merupakan kabupaten yang mempunyai persentase bayi berstatus gizi kurang paling besar, yaitu sebesar 37,3 % dan 34,8 %.

Untuk indikator pendidikan yang direpresentasikan oleh variabel angka buta huruf, Kabupaten Indramayu tercatat sebagai kabupaten yang penduduknya paling banyak belum bisa baca tulis. Sekitar 33,3 % penduduk Kabupaten Indramayu dinyatakan masih buta huruf. Setelah Kabupaten Indramayu kemudian Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Cirebon yang mempunyai penduduk buta huruf terbanyak, masing-masing sebanyak 15,2 %, 13,8 %, dan 13,4 %. Dari angka-angka tersebut terlihat perbedaan yang cukup jomplang antara Kabupaten Indramayu dengan kabupaten/kota lainnya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa sektor pendidikan di Kabupaten Indramayu perlu mendapat perhatian yang besar.

Indikator akses terhadap prasarana dasar menunjukkan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Bekasi sangat buruk dalam penyediaan air bersih. Sekitar 80 % penduduk Kabupaten Tasikmalaya dan 74,9 % penduduk Kota Bekasi kesulitan untuk mengakses air bersih. Sementara 55,9 % penduduk Kabupaten Cianjur dan 34,6 % penduduk Kabupaten Sukabumi kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan.

Adapun jika dilhat dari nilai komprehensif IKM, kabupaten/kota yang mempunyai tingkat kemiskinan paling tinggi adalah Kabuapten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Karawang. Sedangkan kabupaten/kota yang mempunyai nilai IKM paling rendah adalah Kota Cirebon, Kota Bandung, Kota Sukabumi, dan Kota Bekasi. Selengkapnya mengenai nilai IKM dan variabel-variabel yang menyusunnya bisa dilihat pada tabel 1 di bawah ini.

Penutup
Berdasarkan penelaahan terhadap nilai indeks kemiskinan manusia di atas, kabupaten/kota di Jawa Barat bisa melihat tingkat kemiskinan di daerahnya masing-masing relative terhadap daerah lain. Disamping itu, juga bisa melihat pada variabel apa daerah tersebut mempunyai nilai yang sangat rendah sehingga perlu perbaikan yang mendesak.

Memang, IKM hanya salah satu bentuk simplipikasi dari berbagai dimensi kemiskinan yang sangat kompleks. Meskipun demikian, hasil dari IKM ini semoga bisa menjadi indikasi atau gambaran awal bagi daerah dengan harapan masing-masing daerah bisa melakukan instropeksi untuk selanjutnya bisa menjadi motivasi untuk bekerja lebih keras dalam mengentaskan masalah kemiskinan ini. ***